Jumat, 30 Juni 2017

Dua Anak Spesialku

Diposting oleh Unknown di 19.19 0 komentar
Saya adalah seorang ibu dari 2 anak berkebutuhan khusus. Anak pertama adalah perempuan Alsya 12 tahun merupakan penyandang Disleksia sedangkan adiknya laki-laki Rafif 8 tahun merupakan penyandang Autis. Saat bayi, Rafif lebih rewel bila dibandingkan dengan kakaknya. Waktu tidurnya pun sangat sedikit jika dibandingkan dengan bayi-bayi lain seusianya. Perkembangan motorik kasarnya seperti tengkurap, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan tidak ada keterlambatan. Namun perkembangan motorik halus dan kognitifnya yang 'mencurigakan'. Ketika di usia 16 bulan Rafif belum bisa mengucapkan kata-kata seperti mamama, papapa, atau bababa seperti bayi pada umumnya. Rafif juga cuek tidak menoleh saat dipanggil namanya. Belum bisa menunjuk sesuatu, dan belum merespon ketika diajari dadah, kiss bye dll. Kontak mata juga sangat kurang. Saya segera mencari tahu tentang ciri-ciri autisme dan menemukan beberapa ciri ada pada Rafif. Pada saat itu saya dan suami pertama kali konsultasi ke psikolog. Namun dalam sesi konsultasi yang hanya beberapa menit tersebut psikolog menyimpulkan Rafif normal saja hanya kurang stimulasi. Kami disarankan untuk lebih sering mengajak Rafif berbicara. Entahlah saat itu saya masih merasa ada ganjalan di hati bercampur dengan rasa lega karena Rafif normal. Pada saat usia Rafif menginjak 2 tahun kami bawa Rafif untuk konsultasi ke Tim Dokter Klinik Tumbuh Kembang RS Hermina Pandanaran Semarang. Setelah melalui pengamatan yang lebih detail, dokter belum berani menyimpulkan Rafif autis, hanya keterlambatan bicara mengingat usia Rafif masih 2 tahun. Sambil tetap dilakukan observasi, Rafif mengikuti Terapi Sensor Integrasi, Terapi Okupasi dan Terapi Wicara. Semula Rafif hanya dapat jadwal terapi 1 kali seminggu, kemudian setelah tegak diagnosa bahwa Rafif autis terapinya menjadi 4 kali seminggu. Atas saran dokter pula pada saat usianya 3 tahun Rafif kami sekolahkan di kelompok bermain dekat rumah untuk belajar bersosialisasi. Saya menjadi shadow atau pendamping Rafif selama di sekolah. Rafif sering kabur keluar kelas dan bermain ayunan atau prosotan saat teman-temannya masih belajar di kelas. Sebaliknya pada saat istirahat dan semua temannya bermain di halaman, Rafif justru menyendiri masuk ke ruangan kelas. Saya sering mengajak Rafif bergabung dengan teman-temannya dan mengajari cara bermain bersama. Rafif terlihat ingin berinteraksi namun dia belum tahu caranya apalagi dia belum bisa berbicara. Menginjak usia 4 tahun Rafif tetap di kelompok bermain sambil belajar mengenal warna, bentuk, angka, huruf dll. Rafif juga memiliki gangguan sensori yaitu tidak tahan mendengar suara keras seperti suara speaker, bor, blender, sirene dll. Rafif tantrum dan memukul-mukul kepalanya jika menangis tidak tahan dengan suara-suara bising tersebut. Saat usianya 6 tahun, kami sekeluarga pindah rumah ke Sidoarjo dan Rafif kami sekolahkan di Sekolah khusus dan pusat terapi anak berkebutuhan khusus Cita Hati Bunda. Jika dibandingkan dengan saat masih terapi di Semarang yang dari segi waktu kurang efektif maka di sekolah yang sekarang ini Rafif mendapatkan terapi yang lebih intensif dengan sistem satu guru satu murid. Terapi ABA yang dimodifikasi sesuai kebutuhan masing-masing anak, sekaligus diajarkan pula bina diri untuk mendidik anak agar mandiri. Setiap Rabu anak-anak ada kegiatan outing untuk mengajari anak-anak bersosialisasi di masyarakat, outing yang dilakukan misalnya ke pasar tradisional, ke pasar modern untuk belajar berbelanja, naik berbagai macam tranportasi umum, ke dokter gigi, ke dokter umum, ke restoran untuk belajar makan sendiri dan tertib di tempat umum, ke perpustakaan dll. Kegiatan outing ini sangat besar manfaatnya karena anak-anak berkebutuhan khusus menjadi percaya diri dan terbiasa diajak ke tempat umum. Sejak Rafif bayi sampai usianya 7 tahun saya belum pernah mengajaknya nonton di bioskop karena khawatir Rafif akan takut berada di tempat gelap dan akan mengganggu penonton lain karena tidak bisa diam. Setelah Rafif sukses diajak beberapa kali nonton film di bioskop dalam kegiatan outing akhirnya saya pun percaya diri mengajak Rafif. Alhamdulillah Rafif bisa tertib sampai film usai. Bina diri Rafif juga banyak mengalami kemajuan, sudah bisa BAK sendiri namun untuk BAB masih sering kecolongan. Sudah belajar mandi sendiri meski masih sedikit dibantu. Sudah bisa makan sendiri dan sudah bisa menaruh piring dan cangkir kotor di bak cucian. Rafif sudah bisa diberi perintah-perintah sederhana dan mulai bisa mengucapkan beberapa kata seperti mama (yang saya tunggu-tunggu sekian tahun), papa, abah, sudah, nggak, ada, apa dll. Perilaku buruk terkadang masih muncul dalam kondisi tertentu seperti tantrum, meludah, memukul, mencubit tapi sudah jauh berkurang. Tentu saja perjalanan Rafif masih sangat panjang dan harapan kami sebagai orang tuanya sederhana saja agar kelak Rafif bisa mandiri dan bermanfaat dengan segala keterbatasannya. Sebagai ibu rumah tangga yang mengurus sendiri semuanya, saya akui sebagian besar waktu dan perhatian saya lebih banyak untuk Rafif yang didiagnosa autis sejak kecil. Kebetulan kakaknya Rafif, anak pertama saya tidak ada kendala yang berarti bahkan prestasi akademis dan non akademisnya sangat bagus. Alsya memiliki bakat yang menonjol di bidang menulis. Dia sudah bisa lancar membaca saat berusia 4 tahun dan juara menulis buku cerita tingkat TK B saat lomba di sekolahnya. Kemudian juara menulis cerita pada saat kelas 3 SD dan saat kelas 5 cerpennya diterbitkan dalam sebuah buku kumpulan cerpen. Saat menginjak bangku SMP barulah muncul gangguan perilaku. Alsya sulit bersosialisasi dengan teman-teman barunya, kehilangan minat belajar sehingga malas sekolah, kesulitan mengatur waktu sehingga selalu terlambat/terburu-buru pergi ke sekolah. Sering lupa mengerjakan tugas atau jika sudah mengerjakan tapi lupa mengumpulkan. Sering kehilangan atau ketinggalan barang-barang. Saya konsultasi dengan psikolog dan dilakukan assessment terhadap Alsya, ternyata Alsya penyandang Disleksia. Sebetulnya ciri-cirinya sudah ada sejak kecil tapi saat itu saya belum paham tentang disleksia dan mengabaikannya. Saya kira disleksia hanya gangguan kesulitan baca tulis saja ternyata pada Alsya ialah gangguan bahasa sosialnya. Waktu Alsya TK memang sering mengucapkan sesuatu dengan kata yang tertukar atau terbalik seperti 'nyamuk' menjadi 'manyuk' dan menggunakan bahasa baku seperti di buku-buku cerita yang sering dibacanya seperti 'lihat anjingnya sedang bersenda-gurau'. Kami pikir semua itu kelucuan yang akan mengingatkan tentang dia di masa kecilnya. Saat ini Alsya ikut terapi 3 x seminggu untuk meningkatkan self esteem-nya, motivasi belajarnya, belajar manajemen waktu dll. Semoga Alsya dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya berkaitan dengan disleksianya. Setiap orang tua pasti menginginkan dikaruniai anak yang sehat jiwa raganya. Tapi siapa yang bisa menghindari apabila dikaruniai anak istimewa? yaitu anak berkebutuhan khusus, yang memerlukan tenaga, kesabaran dan biaya super ekstra untuk memperjuangkannya. Perjuangan, pengorbanan, pengharapan dan keikhlasan adalah paket yang dimiliki semua orang tua anak istimewa. Anak adalah amanah dari Allah begitu pula dengan anak istimewa. Dia adalah milik dan ciptaan Allah, dan Allah tidak akan pernah menciptakan sesuatu yang salah. Allah juga tidak akan memberi ujian dan cobaan di luar kenampuan kita. Hal ini yang saya jadikan motivasi untuk menjadi ibu yang kuat. Saya bisa Alsya bisa Rafif bisa. Bersama kita bisa.
 

My Simple Notes Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea